Rabu, 06 Oktober 2010

Kutaklukkan Puncak Bromo, Bersama Cintamu

"BAGIAN-I"
Kuseduh Mie Instan (baca:pop mie) malam itu. Mengepul asapnya, terbang dan bergabung bersama hawa dingin dan kabut malam yang semakin kelam dan mendekat. Itulah makan malam ku pertama di sebuah lapangan hijau, didalam tenda berwarna biru, di belakang sebuah rumah tak berpenghuni yang masih dalam kawasan lereng G.Bromo. Aku datang bersama  teman-teman sebayaku. Diantara mereka, ada seorang gadis manis yang telah berhasil mencuri jiwa dan ragaku. Dialah "manisku". Bersamanyalah cerita penaklukan ini dimulai dan diakhiri. 
Tenda telah dibuat saat kita telah menginjakkan kaki di lapangan ini. Kira-kira maghrib, itulah waktu dimana kita mulai menginjakkan kaki di bumi Bromo. Di awal kedatangan, aku sungguh tak merasa lapar . Mungkin, karena perut yang mengkerut gara-gara hawa dingin telah merasuki jaket putihku, yang terlihat sudah tak bisa menahan serangan-serangan hembusan angin yang tenang tapi membirukan bibir ini. 
Tak terasa mie instan ku habis. Kemudian aku memutuskan untuk keluar tenda untuk kembali merasakan keindahan kabut tipis yang turun pelan-pelan. Seperti asap rokok, putih dan meninterpretasikan sebuah keindahan alam yang dengan teliti telah dibuat oleh Tuhan, dan pastinya tak mematikan penghirupnya. Aku berdiri di atas lapangan rumput yang luas dan terlihat tak berbatas karena pandangan mata terhalang oleh kurangnya cahaya disekitar perkemahan. Ku perhatikan sekeliling, terlihat sebuah tenda yang lain telah berdiri simbol bahwa semangat mendaki telah ditancapkan dalam diri mereka sebagai pendaki. Tapi sayang beribu ribu sayang, tenda itu hanya satu adanya. Mereka, para pendaki lain, lebih memilih menginap di hotel dari pada bersusah payah mendirikan tenda seperti yang kelompokku lakukan. Apa indahnya semua itu. Hotel tak ada kabut sedangkan kita (kelompokku) bisa merasakan langsung denyut jantung Sang Bromo.
Waktu telah menunjukkan  pukul 10 malam, para pendaki kekurangan air dan banyak yang ingin buang air kecil. hufth. . .dengan terpaksa kita harus kembali turun menuju pemukiman penduduk untuk meminjam kamar kecil dan meminta air, untuk direbus kemudian di minum selagi hangat. Keadaan di sekitar perkemahan yang terasa tak bersahabat, mengharuskan kita untuk bergantian turun. Sebagian menjaga tenda dan sebagian lagi menuaikan keinginannya. Jalan menuju pemukiman sangat susah. selain kanan kiri sebuah jurang, penerangan pun sangat kurang selama perjalanan. Sejujurnya aku tak mau ikut-ikutan turun. Tapi apa boleh buat, si penakluk hatiku ingin turun untuk menunaikan keinginannya, dengan terpaksa dan hati gembira, aku merelakan diriku untuk ikut ikutan turun ke pemukiman penduduk.

########BERSAMBUNG########

Tidak ada komentar:

Posting Komentar